Featured

Perut Rasulullah Berbunyi

. : Perut Rasulullah Berbunyi : .Cahaya

Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam shalat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.

Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai sholat,

”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?”

Namun Rasulullah menjawab,

”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.”

Mendengar jawaban ini Sahabat Umar melanjutkan pertanyaannya,

”Lalu mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…”

Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.

Umar memberanikan diri berkata,

”Ya Rasulullah! Adakah bila Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?”

Rasulullah menjawab dengan lembut,

”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. Tetapi apakah yang akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya?”
Para sahabat hanya tertegun.

Rasulullah melanjutkan,

Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

Salahkah Jika Dipribumikan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.

 Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.

 Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.

 Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.

 Kalau di bidang politik – termasuk doktrin kenegaraan – dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam.

 Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.

 Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.

 Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab – yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.

 Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif – yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.

 Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?

 Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?

 Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.

 Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan? []

 

*) Tulisan ini pernah dimuat Tempo, 16 Juli 1983

My Litle Family

Keluarga kecilkuSetahun sudah bersama si kecil “Zain Syarif PH”, dengan beranjaknya setahun ini moment yang tepat untuk mengabadikannya. Si kecil sedang lucu-lucunya dan membuat gemas banyak orang. Great thank Allah, dengan anugerah keluarga kecil ini semoga kebahagiaan dan keberkahan selalu menyertai, jadikanlah mereka anak-anak yang soleha dan soleh Aamiin Ya Allah.

Silahkan klik ya kalau mau melihat detailnya, sekalian gabung di google plus he he he….. sekalian promosi.

Hitung Kecepatan Transfer Data

Transfer Rate

Proses transfer data di internet menggunakan satuan bit per detik (bit per second), mengapa menggunakan bit per detik karena proses penerimaan dan pengiriman data yang maupun dari komputer menggunakan satuan bit (satuan terkecil di komputer).

Tabel Bit

Nama Simbol Nilai
bit per second bit/s (bps) 1
kilobit per second kbit/s (kbps) 103
megabit per second mbit/s (mbps) 106
gigabit per second gbit/s (gbps) 1012

Contoh Menghitung kecepatan tranfer data

  • Seseorang berlangganan internet dengan kecepatan tranfer normal 256 Kbps
  • kapasitas volume data 2GB (Giga Byte)
  • Berapakah akses data normal orang tersebut dalam satuan byte (B/s)
  • Berapakah akses data normal orang tersebut dalam satuan KiloByte (KB/s)

Jawab
Kecepatan tranfer data dalam byte
256Kbps = 256*103 bps = 256000 bps
kecepatan tranfer data orang tersebut 256000 bit per second
Untuk mengetahui berapa byte kah kecepatan tranfer data orang tersebut?, maka nilai bit dibagi dengan 8 “karena 1 byte = 8 bit
Konversi nilai ==> 256000 / 8 = 32000 byte

Kecepatan tranfer data dalam KiloByte
Kenaikan nilai byte ke Kilobyte yaitu dibagi sama dengan 210 atau dibagi 1024
Kenaikan nilai Kilobyte ke Megabyte yaitu dibagi sama dengan 210 atau dibagi 1024

Untuk mengetahui berapa KiloByte kah kecepatan tranfer data orang tersebut?, maka nilai byte dibagi dengan 210 atau dibagi 1024

karena 1 KiloByte = 1024 byte
Konversi nilai ==> 32000 / 1024 = 31.25 KiloByte

NetMeter

NetMeter Free
Dini hari tanggal 6 maret 2008 jam +- 24:30 saya sedang surfing dan menemukan halaman web dari klik kanan dan saya mendapatkan apa yang saya cari yaitu program NetMeter yang berfungsi sebagai memonitor kecepatan transfer upload dan download dari suatu komputer pada jaringan untuk informasi lanjut silahkan klik alamat berikut http://www.klik-kanan.com/software/net-meter.shtm